• +62 (21) 7985454
  • iql.jkt@gmail.com

ARTICLES

Serial Ekonomi Islam (1)

Al-Qur'an Mengajak Berbisnis

Oleh: Dr. Syamsul Balda, SE, MBA
Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute

Aktifitas bisnis adalah sebuah keniscayaan. Bisnis selalu berpengaruh besar dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Kekuatan ekonomi yang dibangun melalui bisnis bisa mempengaruhi gejolak maupun stabilitas politik suatu bangsa. Jatuh bangunnya setiap rezim pemerintahan kerap diawali oleh krisis ekonomi di negara tersebut yang gagal ditangani dengan baik. Hampir setiap manusia di dunia ini –dalam bentuk dan skalanya masing-masing- terlibat dalam urusan bisnis. Kini, bisnis telah memenuhi relung-relung kehidupan setiap individual, komunal, regional dan internasional.
Keterlibatan kaum muslimin, khususnya para aktifis da’wah (da’i), dalam dunia bisnis bukanlah suatu fenomena baru. Sejarah mencatat, da’wah Islam masuk kali pertama ke Nusantara ini di bawa oleh para da’i dari benua seberang yang diutus oleh Kekhalifahan Utsmaniyah, yang juga pebisnis ulung. Rasulullah saw sendiri terlibat dalam urusan bisnis selama belasan tahun untuk mem-back up kegiatan da’wahnya. Islam memang menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis.
Namun, kaum muslimin saat ini menghadapi masalah yang dilematis. Di sebagian kalangan umat Islam, terutama yang sangat dipengaruhi faham sufiisme, beranggapan bahwa bisnis adalah “godaan duniawi” yang dapat menjauhkan umat dari “kelezatan ukhrawi”. “Biarlah orang-orang kafir itu kini berlomba membuat bangunan-bangunan megah di dunia. Kita, orang-orang beriman, tengah mempersiapkan membangun istana di surga kelak”. Sebenarnya golongan ini memerlukan uluran tangan untuk meringankan kehidupan ekonominya yang memprihatinkan, namun karena ideologi dan pilihan hidupnya, menyebabkan sulit bagi pihak lain untuk menolongnya keluar dari himpitan kebutuhan hidup yang rasional. Ketika para penganut mazhab ini semakin banyak dan berkembang, maka dapat dipastikan bahwa secara makro, kehidupan ekonomi bangsa di negara tersebut masuk dalam kategori “hidup di bawah garis kemiskinan”. Dampaknya adalah, tertinggalnya peradaban bangsa tersebut dalam pergaulan internasional.
Sementara, di sebagian kalangan umat Islam lainnya yang telah sadar akan pentingnya membangun kekuatan ekonomi, dihadapkan pada masalah ketidakpastian, kekaburan dan ketidakmengertian akan praktek-praktek bisnis yang benar menurut syari’at Islam. Mengingat jenis, bentuk, metode dan teknik-teknik bisnis yang berkembang sekarang ini belum pernah ada dan dipraktekkan di jaman Nabi. Perdagangan saat ini bukan saja meliputi produk barang dan jasa, tetapi bahkan merambah pada sektor ideologi dan idealisme. Komunitas massa dan jaringan pun kini dapat dikomersialisasi dan dimonetisasi. Pasar sebagai wahana transaksi bisnis, bukan lagi hanya terjadi di mall-mall atau bursa-bursa saham, tetapi juga di mimbar-mimbar parlemen yang terhormat. Uang atau surat berharga bukan lagi satu-satunya alat tukar pembayaran dalam transaksi, tetapi ada yang lebih istimewa, yakni posisi dan jabatan.
Selain karena hal-hal tersebut di atas adalah baru, bentuk dan jenis bisnis tersebut kini berkembang populer dan bahkan menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi dan praktek bisnis kontemporer. Sebagian umat Islam, terutama para aktifis da’wah dilanda kebingungan, apakah praktek-praktek bisnis tersebut sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, atau bertentangan. Fenomena semakin maraknya praktek-praktek bisnis jenis baru tersebut jelas mesti disikapi secara arif, agar umat Islam tidak terseret sikap ekstrim: meninggalkan sama sekali urusan duniawi yang telah dipenuhi oleh praktek bisnis kotor; atau terjun bebas mengikuti arus serba boleh dengan dalih: Prinsip Islam adalah membolehkan segala sesuatu dalam urusan muamalah, hingga ada nash yang jelas mengharamkannya!
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjelaskan secara jernih praktek-praktek bisnis yang islami, sehingga dapat menjadi pijakan dalam mengarungi dunia bisnis.

Antara Amal (Kerja) dan Tijarah (Bisnis)
Islam Mewajibkan Kerja
Tidak sebagaimana ajaran beberapa agama, Islam memberikan ruang yang demikian luas dan menilai penting semua kerja yang produk¬tif. Kristen misalnya, menganggap kerja sebagai hukuman Tuhan yang ditimpakan pada manusia karena adanya dosa asal (original sin) yang dilakukan oleh Adam. Kerja keras untuk hidup tidak dianjurkan karena sangat bertentangan dengan kepercayaan terhadap Tuhan. Manusia ideal menurut kepercayaan Hindu, adalah melakukan dis-asosiasi (pemutusan hubun¬gan) dengan segala aktivititas sosial serta semua kenikmatan apapun, dalam rangka mencapai kemanunggalan dengan Tuhan. Sementara, pandangan Islam terhadap kerja (amal) bisa dilihat diantaranya dari ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini :

" Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan¬Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. " (At-Taubah: 105)

"Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik maka (hasilnya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (balasannya) untuk dirinya sendiri, dan sekali-kali Tuhanmu tidaklah me¬nganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46).

"Tak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, ber¬zikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. " (Al-Baqarah : 198).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan pernia¬gaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan jangan¬lah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya adalah Allah Maha Penya¬yang kepadamu. " (An-Nisa' : 29).

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar dan menuju kepadanya dan mereka tinggal¬kan kamu sedang berdiri (berkhotbah). "Katakanlah apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan?” dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi rizki. " (Al-Jumu' ah : 10-11).

"Dan tiap-tiap orang memperoleh hasil (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. " (Al-An' aam : 132).

Islam menetapkan kerja (amal) sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dirinya. Bukan hanya sebatas itu, Islam juga telah mengangkat kerja (amal) pada level ”Wajib” dengan menyebutkan kerja (amal) itu secara konsisten sebanyak 50 kali yang digandengkan dengan iman, alladzina amanu wa 'amilu al-shalihat. Karena adanya pene¬kanan terhadap amal (kerja) inilah yang membuat Abdul Hadi mengatakan: Al-Islamu 'aqidatu 'amalin wa 'amalu 'aqidatin (Islam adalah ideologi praktis sekaligus praktek ideologi). Ismail Raji Al-Faruqi secara simpatik mengatakan bahwa Islam adalah a religion of actions (agama aksi). Saat menerangkan sikap Islam pada ekonomi dan bisnis, dia menyatakan: ”memenuhi dunia, ruang dan waktu dengan nilai-¬nilai, bukan hanya penting bagi agama namun ini adalah kepentingan agama.”
Hubungan antara iman dan amal (kerja) itu sama dengan hubungan antara akar dan pohon. Yang salah satunya tidak mungkin bisa eksis tanpa adanya yang lain. Islam tidak mengakui bahkan menolak keimanan yang tidak membuahkan amal yang baik. Al-Qur'an dengan tegas menga¬takan bahwasanya jika seorang Muslim selesai melakukan shalat Jumat, se¬bagai ibadah ritual pekanan, hendaknya dia kembali melakukan aktivitas kerja-nya. Dengan kata lain, pekerjaan yang dia lakukan hanya bisa dihentikan dalam waktu sementara pada saat dia melakukan ibadah shalat. Dengan berdasar¬kan perintah ayat Al-Qur'an (62: 10; 19; 93 dan 67: 15) Ibrahim Ath-Thahawi dan Abdul Mun'im Khallaf menyatakan bahwa kerja (amal) adalah sebuah faridhah (kewajiban) dimana setiap orang akan dimintai pertanggungan jawabnya.
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, dan Allah telah menundukkan semesta ini untuk kepentingan manusia. Sebagai khalifah ia berkewajiban untuk membangun dunia ini dan mengeksplorasi sumber-sumber alamnya dengan cara yang benar dan profesional. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (Huud : 61). Produktif dalam kehidupan bukan saja direkomendasikan oleh Islam, namun itu adalah sebagai tuntutan Islam.

Frekuensi Penyebutan Kerja dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menyebutkan tentang kerja, dalam satu konteks dengan yang lainnya, dengan frekuensi yang sedemikian banyak. Bahkan hampir di setiap halaman Al-Qur'an ada yang mereferens pada kerja itu. Sebagai bukti adalah kita mendapatkan sebanyak 360 ayat yang membicarakan tentang amal dan 109 yang membicarakan tentang fi'il (dua kata itu sama-sama bermakna kerja dan aksi). Selain dua kata itu, amal dan fi'il, beberapa terma lain yang di¬ambil dari akar kata yang juga menekankan pada aksi dan kerja kita dapatkan secara ekstensif, seperti akar kata (kasaba), (baghiya), (sa'aa) dan juga (jahada). Frekuensi penyebutan tentang kerja yang demikian banyak ini menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja kreatif dan aktivitas yang produktif di dalam Al-Qur'an.

Al Qur’an Mencela Pemalas dan Pengangguran
Al-Qur'an sangat menentang tindakan malas dan menyia-nyiakan waktu, baik berpangku tangan, tinggal diam atau melakukan hal-hal yang tidak produktif. Al-Qur'an selalu menyeru manusia untuk memper¬gunakan waktu sebaik mungkin dengan cara menginvestasikannya dalam hal-hal yang akan menguntungkan dan selalu mempergunakannya dalam tindakan¬-tindakan positif dan kerja produktif. Orang yang tidak mempergunakan waktunya secara baik akan dicela dan dimasukkan pada golongan orang-orang yang sangat merugi.
Islam selalu menyerukan pada setiap orang untuk selalu bekerja dan ber¬juang, serta melarang segala bentuk kemalasan dan pengangguran. Muslim yang aktif bekerja diberikan sebuah posisi yang demikian penting, bahkan dispensasi dalam ibadah tertentu telah diberikan untuk memberikan kesempatan ia bekerja dengan baik. Ada sebuah pernyataan di dalam Al-Qur'an yang dengan tegas menyatakan dihapusnya sebuah kewajiban shalat tahajjud dalam rangka memberikan kesempatan pada umat Islam untuk melakukan kegiatan bisnisnya di siang hari dalam kondisinya yang segar bugar. Al-Qur'an lebih lanjut menyebutkan bahwasanya siang hari itu adalah waktu dan sarana untuk mencari penghidupan.

Kerja sebagai Satu-satunya Penentu Status Manusia
Dalam pandangan Abdul Hadi, kerja manusia adalah sumber nilai yang rill. Jika seseorang tidak bekerja maka dia tidak akan berguna dan tidak memiliki nilai, adalah sebuah ungkapan yang telah diproklamirkan Islam sejak lebih dari satu milenium yang lalu sebelum para ahli ekonomi klasik mene¬mukan fakta-fakta yang ada. Dalam pandangan Al-Qur'an, kerja (amal) adalah yang menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupan. Se¬bagaimana hal tersebut diungkap di dalam ayat-ayat berikut:
“Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. " (Al-An' aam : 132).
"Dan setiap mereka mendapat derajat menurut apa yang telah mere¬ka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pe¬kerjaan pekerjaan mereka sedang mereka tidak dirugikan. " (Al¬Ahqaaf : 19).
Dengan kata lain, kerja adalah satu-satunya kriteria, disamping Iman, dimana manusia bisa dinilai untuk mendapatkan pahala, penghargaan dan ganjaran.
Al-Qur'an penuh dan sering serta berkali-kali mendesak manusia untuk bekerja. Semua insentif yang ada diperuntukkan untuk manusia agar dia ter¬libat dalam semua aktivitas yang produktif.
Al-Qur'an mendesak untuk kerja keras dan menjanjikan pertolongan Allah dan petunjuk-Nya bagi mereka yang berjuang dan bekerja dengan baik. Dalam banyak ayatnya, Al-Qur'an menjanjikan pahala yang berlimpah bagi seorang yang bekerja dengan memberikan pada mereka insentif (reward) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya.
Al-Qur'an juga menyerukan pada semua orang yang memiliki kemam¬puan fisik untuk bekerja dalam usaha mencari sarana hidup untuk dirinya sendiri. Tak seorang pun dalam situasi normal, dibolehkan untuk memin¬ta-minta atau menjadi beban kerabat, sahabat dan negara sekalipun. Al-Qur'an sangat menghargai mereka yang berjuang untuk mencapai dan memperoleh karunia Allah. Apa yang disebut karunia ini adalah meliputi segala macam sarana ke¬hidupan. Rasulullah mengajarkan pada umatnya agar setiap keluar dari mesjid hendaknya membaca: “Ya Allah! Saya mohon karunia-Mu.” Doa ini adalah sebagai peringatan dan sekaligus sebagai dorongan bagi umat Islam un¬tuk selalu mencari dan berjuang mendapatkan sarana hidup. Etika Islam, menurut Al-Faruqi, dengan jelas menentang segala bentuk minta-minta, menentang tindakan cara hidup parasit yang memakan keringat orang lain. Sunnah Ra¬sulullah memaparkan pada kita bahwasanya bekerja giat sangatlah dihargai, sedangkan pengangguran sangatlah dikutuk.
Rasulullah saw menyatakan bahwasanya orang yang mencari nafkah hidupnya untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang terus beribadah sepanjang waktu, lebih baik daripada saudaranya yang hanya beribadah dan tidak bekerja tersebut. Memang ada pernyataan dari Allah bahwasanya para pengemis dan orang-orang yang miskin memiliki bagian dari harta orang-orang yang kaya. Allah menyatakan itu jika benar-benar mereka adalah orang yang berhak untuk mendapatkan bagian itu. Namun itu bukan berarti bahwasanya mereka itu mendapat lisensi selamanya untuk tetap berpangku tangan dan menjadi tanggungan masyarakat secara permanen. "Cobalah ingat sebuah peristiwa yang terjadi pada seseorang bersama Rasulullah," tulis Malik bin Nabi, tatkala Rasulullah memberi nasehat pada seorang sahabatnya, dimana dia datang pada Rasululah meminta haknya. Rasulullah menyuruh dia pergi un¬tuk mengambil kayu lalu menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasulullah ingin mengajarkan pada orang itu bahwa mencari rizki untuk menutupi hajat hidupnya melalui kerja keras lewat tangannya sendiri jauh lebih baik daripada menyandarkan pada "hak"nya tersebut.

Penghormatan Islam Terhadap Kerja dan Pekerja
“Islam," tulis Abdal'ati, "menghormati segala bentuk pekerjaan untuk menghasilkan sarana hidup, sepanjang tidak ada ketidaksenonohan dan tindakan yang salah dan merugikan.” Dalam sebuah hadits Rasulullah bersab¬da,
"Seseorang yang mengambil seutas tali, lalu memotong ranting pohon dan mengikatnya dengan tali itu, lalu menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyedekahkannya adalah lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain. Baik orang yang dia minta itu mem¬beri ataupun menolak. (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).
Rasulullah menyebutkan bahwa perilaku menggantungkan diri pada orang lain adalah "dosa (religous sin), cacat sosial (social stigma) dan tindakan yang sangat memalukan.”
Perlu kiranya dicatat di sini bahwasanya kerja yang diwajibkan dan di¬anjurkan Islam adalah kerja yang berkualitas (amal saleh), yang baik dan produk¬tif serta membawa manfaat. Bukannya sembarang kerja. Maka, setiap ajakan kerja dalam A-Qur'an akan selalu dibarengi dengan sifat yang saleh dan baik. Yang juga pantas untuk menjadi catatan adalah bahwasanya semua pekerjaan, yang baik maupun yang buruk pastilah dimintai pertanggungjawabannya. Setiap orang akan memetik apa yang dia tanam. Sebagaimana firman Allah, ”Pada hari itu semua orang keluar dari kuburnya dalan keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pe¬kerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat atom pun, niscaya dia akan mendapat (balasan)nya. Dan barang siapa yang inengerjakan kejahatan seberat atom pun, niscaya ia akan mendapat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah : 6 -8).

Al-Qur’an dan Bisnis
Bukti bahwa bisnis begitu penting tidak hanya ada dalam pernyataan, namun ia juga ada dalam sikap dan konsiderasi khusus yang disetujui Al¬Qur'an.
Al-Qur'an menggunakan terminologi bisnis sedemikian ekstensif. Terma ko¬mersial ini, memiliki dua puluh macam terminologi, yang diulang sebanyak 370 kali di dalam Al-Qur'an. Terma-terma yang sedemikian banyak itu merupa¬kan terma bisnis yang penelitiannya dilakukan C. C Torrey saat dia menulis di¬sertasinya yang berjudul: The Commercial-Theological Terms in the Koran. Torrey menyatakan bahwasanya sebagian dari teologi Qur'an mengandung ter¬ma-terma bisnis. Menurut Torrey, penggunaan terma bisnis yang sedemiki¬an banyak itu menunjukkan sebuah manifestasi adanya sebuah spirit yang ber¬sifat komersial dalam Al-Qur'an.
Bahwa Al-Qur'an memerintahkan bisnis dalam terma yang sangat eks¬plisit adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Lebih jauh kita mendapat¬kan banyak instruksi di dalam Al-Qur'an, dalam bentuknya yang sangat detail, tentang praktek bisnis yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Para pakar yang meneliti tentang hal-hal yang ada dalam Al-Qur'an sama-sama mengakui bahwa praktek perundang¬undangan Al-Qur'an selalu berhubungan dengan transaksi. Dengan ungka¬pan lain, ijin yang diberikan dengan berdasarkan pada perundang-undangan, merupakan salah satu bukti dan pertanda betapa aktivitas bisnis itu sangat penting menurut Al-Qur'an.
Haji ke tanah suci adalah satu pilar dan rukun Islam. la merupakan lam¬bang sebuah pengalaman religius dalam kehidupan seorang Muslim, karena ia menggabungkan dimensi ibadah manusia pada Allah secara fisik, spiritual dan materi. Namun demikian A1-Qur'an masih memberikan ijin berbisnis pada saat Haji itu di sela-sela padatnya ritual ibadah tersebut. Artinya, sekali lagi, Al-Qur'an memandang bahwa aktivitas bisnis adalah sebuah aktivitas yang demikian penting.

Ajakan Berbisnis dalam Al-Qur’an
Al-¬Qur'an penuh dengan ayat-ayat yang memotivasi manusia untuk melakukan aktivitas bisnis. Bisnis terutama perdagangan, menurut Al-Qur'an, adalah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan. Al-Qur'an kerap kali mengungkapkan bahwa perdagangan adalah sebuah pekerjaan yang paling menarik. Al-Qur'an, tulis Torrey, dengan jelas menggambarkan perhatiannya yang besar dalam masalah perda¬gangan. Kitab suci ini dengan lugas mendorong para pedagang untuk melakukan sebuah perjalanan yang jauh dan melakukan bisnis dengan para penduduk di negeri asing. Pekerjaan yang banyak menguntungkan ini dianggap sebagai sebuah karunia yang Allah berikan kepada orang-orang Quraisy.
Al-Qur'an juga menekankan akan pentingnya alat-alat transportasi dan sarana pendukungnya (infrastruktur) yang akan memperlancar sebuah perjalanan bisnis. Kapal disebut berulang-ulang di dalam Al-Qur'an dan dinyatakan sebagai karunia pada manusia, dimana mereka diperintahkan untuk mempergunakannya dalam rangka mencari karunia Allah.

Larangan Berbisnis dengan Tidak Jujur
Al-Qur'an sangat menghargai aktivitas bisnis yang jujur dan adil. Al-Qur'an berulang-ulang mencela dan melarang dengan keras segala bentuk praktek ketidakadilan dalam berbisnis. Tindakan yang tidak fair jauh lebih dikutuk daripada bentuk dosa-dosa yang lain. Hal ini tentu menunjukkan betapa pentingnya sikap fair, jujur dan adil dalam aktivitas bisnis.
Disamping penghormatannya terhadap aktifitas bisnis yang fair, Al-Qur'an juga mengingatkan tentang makna kejujuran dan keadilan dalam per¬dagangan. Al-Qur'an sangat menghargai aktivitas bisnis dengan selalu menekankan kejujuran dalam hal bargaining.
Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan sifat adil dan fair dinisbatkan pada Allah. Penisbatan sifat itu menunjukkan secara sempurna betapa pentingnya nilai keadilan dan kejujuran dalam Islam. Dimana Allah pun dalam memperlakukan hamba-Nya berdasarkan asas keadilan dan kejujuran tersebut.

Wallahu a’lam bish-shawwab.